Minggu, 20 Juni 2010
cerpen lucu
Hari ini aku mengajak Reni pergi ke Dufan.Beruntung karena hari ini kami sama-sama lagi libur.
"Ngapain sich ke Dufan?"Tanyanya penasaran.
"Ada aja!"
Dengan berbekal skuter vespa Klasik aku berangkat menjemput Reni.Sampai di depan rumahnya sudah ada si Botak,si satpam penjaga rumah Reni.Mendenganr suara vespa bututku dia menoleh dan melihat ke luar pagar.Aku melambaikan tangan, tapi...
"Woi! ngapain kamu ke sini lagi hah?"
"Yeee rahsia dong! yang pasti bukan mau nemuin kamu!"
"Non Reni lagi nggak..."
"Tittutituutitut"Ah! HPku berbunyi.
"Ya Halo!"
"Halo Fer gue udah liat loe di depan.Gue turun Ya!"
"Sip dah!"
Aku kembali melongok si Botak.
"Hmm.. nggak apa?Nggak ngereken awakmu ha?,Hahaha.."
Ah senangya bisa ngajak mantaku jalan-jalan.Ya! Reni sebenarnya adalah mantanku,sekitar dua minggu yang lalu kami putus.Tapi kami masih sering SMS-an.Boleh dikata aku masih ada rasa pada dia,setiap kali aku melihat dan mendengar apapun yang berkaitan dengan kenanganku saaat jadian aku jadi membayangkan wajahnya.
Sampai di Dufan aku segera membeli dua tiket,seketika aku langsung menggandeng tanganya.
"Eh!"Dia kaget melihat aku menggandeng tanganya.
"M,mmaaf ya?"Kataku menyadari kekeliruanku,hah..lagi-lagi aku ingat saat masih jadian sama dia aku serinngg banget nggandeng tanganya.Dia tampak malu-malu,kulihat pipinya merah merona.Aku tersenyum dan meliriknya sambil terus berjalan. Aneka permainan kami coba.Dan bagian terfaforitku adalah Roller coaster,tapi aku simpan wahana itu untuk terakhir sajalah .aku belum juga berani mengungkapkan niatku yang sebenarnya mengajaknya datang ke Dufan.Aku datang ke sini sengaja untuk mengungkapkan perasaanku yang masih mencintainya,namun tampaknya ini lebih sulit dari yang kubayangkan.Tapi aku sudah bertekad ditaman ini aku harus balikan sama dia lagi,kalo sampai gagal hah mending gak usah idup aja deh!.
Sekarang hampir semua wahana sudah kami coba.Aku tegang bukan main,ya Tuhan! kapan aku engkau beri kekuatan untuk mengungkapkan kata hatiku.Keringat bercucuran membasahi tubuhku.
"Lho Fer kamu sakit?"Tanya Reni sambil memegang tanganku.
"Eh nggak apa-apa kok"Kilahku.
Hah... aku sudah pasrah mungkin perasaan ini nggak akan kuungkapkan,dan kan kubiarkan Reni Pergi berlalu untuk seamanya. Roler Coaster! ya permainan Favoritku sekaligus yang terakhir akan kami naiki berdua.Sebenarnya Reni nggak mau menaiki wahana ini tapi aku memaksanya dan akhirnya ia luluh juga.Kami duduk berdampingan,dia tampak gelisah,dan tanpa sadar ia memegang erat tanganku.Entah apa yang terjadi saat roler coaster mulai berjalan,tiba-tiba....
"Ren aku masih cinta sama kamu!"Kataku polos,Reni tampak terkejut dan kaget.
"CuupP!"Aku juga langsung saja mencium pipinya.Ia tercengang dan tak bicara sepatah katapun,mungkin ia shock dan kaget.
"JJLLLEEESSS!!"Roler Coaster mulai berjalan naik."Ren maukan kamu jadi pacarku lagi?"Tanyaku
"IYYAAAAAAAAAAAAA!!!"Jawabnya keras-keras saat kereta meluncur ke bawah."JLEEEESSSSSS!!"Kami saling menggenggam tangan,hingga perjalanan roler coaster cinta kami berakhir.
http://cerpen.net/cerpen-cinta/bintang-bintang-di-ultah-getha.html
"Sahabat baik itu seperti bintang, kau tidak selalu melihatnya tapi kau tahu di ada di sana" (Kutipan dari monitor warnet Kurnia, Pancing, 2002)
Semua tamu sudah hampir selesai menyanyikan “Zum Geburtstag”. Getha bersiap memamerkan gaya tiup andalannya. Wuensche sudah sejak tadi malam dilafalkan. Tiup lilin..tiup lilin..Wuesnche pun dilafalkan sebelum meniup. Semoga tahun depan dia dan Arman sudah jadian.
Setelahnya Getha membuka mata. “Saatnya menikmati kue. Aku sudah memanggang kue tart apel. Silahkan, kita menyanyi sambil mendengarkan Arman memainkan gitar. Bisa lagu Peter Maffay yang pertama, Arman? Aku sudah sediakan tart buah untuk kau bawa pulang” Brigitte mengumumkan acara berikut. Getha memandang penuh senyum arti pada host mothernya itu.
Kikuk, bahagia, jengah, bercampur satu seperti hidangan gado-gado yang spesial disiapkannya hari ini. Sambil mengenalkan salat ala Indonesia itu kepada tamu-tamu, matanya mencuri-curi pandang pada Arman. Lelaki itu tengah menyanyikan lagu “Sinanggar Tullo”. Lengkap dengan tor-tornya. Anak-anak antusias mengikuti gerakan tangan dan kaki Arman yang bergeser-geser di lantai kayu. Stephan merekam momen.
Terdengar sendok yang dipukulkan tiga kali ke gelas. “Silahkan Arman untuk memainkan gitarnya. Kami sudah tak sabar menunggu” Itu Oma Hilda. Di usia yang menapak senja, antusiasmenya belum memudar.
Arman mengambil tempat di bangku yang diulurkan Opa. Gitar tua milik Stephan disetemnya lebih dulu. Sedikit-sedikit dia memutar kepala gitar, mencari nada yang pas dengan solmisasi. Setelah merasa cukup, dia berdehem, mempersiapkan salam pembuka sebelum intro dipetik.
“Hari ini seluruh bintang berbaris untuk Getha. Semuanya bersinar terang. Kerlipnya memberimu kecupan, menemanimu di setiap sudut mimpimu. Semoga kelak mimpi-mimpimu jadi nyata, menghadirkan cahaya di kelamnya malam“
Tepuk tangan memenuhi ruang. Puisi itu diucapkan Arman dengan sempurna. Dalam bahasa Jerman yang sempurna. Semua memandanginya kagum. Kalimat-kalimat tadi bukan hanya diterjemahkan Arman patah demi kata tetapi telah menyentuh sisi keindahan sebuah puisi.
Getha menunduk, berusaha menenangkan debur di dada yang semakin mengencang. Beruntung benar menemukan Arman lewat sebuah kata di mesin pencari internet. Chatting lewat messenger yang lalu semakin akrab lewat jejaring sosial. Sengaja memilih Bremen bukan karena segala rekomendasi yang disodorkan Arman. Pertimbangan Getha justru lebih kepada inginnya berada dekat dengan lelaki Batak Karo itu.
„In deinem Augen steht so vieles was ich hab…“ Bait pertama lagu Arman menghadirkan kerinduan. Petikan senarnya membuai. Semua tamu sedang menikmati. Opa dan Opa mengangguk-anggukkan kepala. Stephan dan Bridgette saling menatap penuh arti. Bahkan anak-anak yang duduk di lantai kayu tersenyum. Semua indah. Sungguh sempurna hari ini untuk sebuah ulang tahun pertama di negeri orang. Ketika bait telah usai didendangkan, dan melodi berhenti dimainkan, tepuk tangan gemuruh. Tetapi pesta masih belum usai. Kue-kue diedarkan, minuman dituangkan. Kado-kado menumpuk di atas meja.
** Getha sengaja berlambat-lambat jalan. Tadi dia turun dua halte sebelum simpang. Sengaja. Menyusuri taman kecil di belakang sebuah Gymnasium, dia memperhatikan sepasang muda-mudi di bangku kayu tanpa sandaran. Si cowok berkulit legam. Berambut gimbal. Sedang menyanyikan sepotong lagu entah dari bahasa apa.
Tapi mendengar kata-kata je dilagukan beberapa kali, kemungkinan itu bahasa Prancis. Cowok itu tengah membelai rambut pirang ceweknya yang menyandarkan kepala di pundak si cowok. Anak gadis yang sepertinya belum lagi tamat sekolahnya itu punya tindik di mana-mana. Tak bisa menahan, Getha menghitung cepat. Di telinga masing-masing sepasang. Di hidung di masing-masing lobang. Di lidah satu.
Di perut sepasang. Syal mirip tudung kepala yang dikenakan Yasser Arafat yang menurut Getha lebih pas seperti lap tangan atau lap piring milik ibunya di Siantar melilit leher kedua sejoli itu. Jeans robek-robek, dan mantel hitam bergaya Gothik. Anak muda zaman sekarang.
Getha mulai berlari-lari kecil. Sudah lama sekali tidak berolahraga di alam terbuka. Udara Juni segar begini seharusnya bisa ia hirup lebih banyak.
Bunga-bunga yang muncul seperti begitu saja di tanah seharusnya lebih banyak lagi dia pandangi kecantikannya. Bunga-bunga apel yang mekar di halaman-halaman setiap rumah penduduk semestinya lebih sering lagi dia amat-amati. Agar ketika panen tiba ia tahu bel mana yang akan ditekannya, berakrab ria dengan si pemilik. Memuji apel-apel itu.
Lalu di akhir percakapan tanpa tema memohon izin memetiki buah kegemarannya itu. Agustus nanti bunga itu akan berbuah. Buah-buahnya tahun lalu begitu lebat, begitu ranum. Merah dan besarnya menggoda. Buah-buah itu bergelantungan rendah sampai ke tanah. Sebagai taman yang populer, Vahrerpark disukai oleh para pelari joging, pemain in line skate, atau mereka yang sekedar ingin berjalan santai.
Getha sudah sampai di tikungan di depan tempat disediakannya arena bermain untuk anak-anak. Keringat sudah mengucur di wajah. Ketiaknya pun sudah basah. Menoleh untuk mencari bangku kosong, nihil. Akhirnya memutuskan duduk di lapangan rumput. Bangku kayu terdekat diduduki sepasang opa oma. Si Oma merajut syal. Jemarinya lentur mengaitkan jarum ke benang. Si Opa menyanyikan sebuah lagu.
Lengannya melingkari pundak si oma. Merupakan pemandangan yang bikin iri melihat sepasang muda-mudi berkasih-kasihan, tetapi melihat pemandangan orang tua yang begitu mesra adalah sesuatu yang akan kau beri nilai eins. Sempurna. Tetapi lagu si Opa itu..Getha tercenung. Lagu yang sama dimainkan Arman lima tahun lalu.
Sebuah kebetulan yang pas. Tapi mengapa harus hari ini? Saat bintang-bintang terlihat berserakan..tak lagi rapi berbaris untuk dia.. Saat kerlip bintang sembunyi di balik mendung..saat mimpi-mimpi perlahan dilepasnya? Dan kelam malam sudah biasa dia tatap tanpa peduli cahaya ada atau tidak di sana? **
Bremer Ökumenisches Wohnheim tinggal dua puluh langkah lagi saja. Gerbang masuk asrama tak lain adalah rimbunan cemara setinggi kepala orang dewasa ukuran Eropa. Getha memindahkan tali tas ke pundak kanan.
Brigitte tadi memenuhi tas coklat kumalnya dengan Nutella. Selai coklat favoritnya. Sekaleng Marmelade (selai strawberry) buatan Oma Hilda sendiri dan beberapa lembar Schinken (sosis bundar tipis dari daging babi). Kau harus makan banyak-banyak, jangan sampai kelaparan, begitu tadi pesan Brigitte setelah menghadiahkan sebuket peony segar.
Bunga yang hampir menjebol air mata yang menggantung. Dengan tulusnya host mothernya itu mengecup kiri kanan pipinya. Anak-anak pun turut menyalamkan kado-kado mereka. Semuanya berupa Gutschein (kupon) Mirco: Kupon seminggu penuh. Janji tidak akan mengambil Cornflakes diam-diam dari atas lemari. Janji tidak ada Müsli (seral kering) berserakan di lantai. Daniel: Kupon enam hari penuh. Janji tidak akan sengaja menumpahkan susu di atas meja dan memanggil Cody untuk menjilatinya. Alex belum bisa membuat kupon. Bayi berusia sepuluh bulan itu tadi menepuk-nepukkan tangannya melihat Getha sepanjang hari. Tidak biasanya dia begitu.
Baru sadar dari melamun, Getha belok kiri, tergesa. Memasukkan 50 cent ke kereta dorong, lalu menariknya lepas. Setengah berlari dia ke lemari pendingin tempat daging-daging segar disimpan. Duh, Gott! Tidak ada waktu lagi untuk memasak.
Selain tidak ada ide mau masak apa, dia sudah begitu letih. Tapi pasti Olin dan Chika menuntut sesuatu di malam istimewa ini, kan. Simpanannya bulan ini sudah habis, ditransfer untuk biaya sekolah adiknya di Medan.
Ini bukan Medan, tempat kau bisa mentraktir dua orang teman cukup dengan dua puluh ribu rupiah, setidaknya sekedar makan bakso. Ini Bremen, makanan termurah di Restoran Asia saja menghabiskan paling sedikit lima puluh ribu rupiah untuk satu porsi. Getha mendorong kereta belanja ke rak buah. Tiga potong pir, sekaleng nanas potong, sekaleng jeruk mandarin, satu melon bulat segar, pepaya mengkal, timun untuk diserut. Cukup. Kereta didorongnya lagi.
Semangkuk besar yoghurt. Sebotol sirup strawberry..apalagi ya, pikir Getha sambil melirik Seiko di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul tujuh. Waktunya makan malam. Antrian di kasir memanjang sampai ke lorong tempat rak-rak berada. “Permisi..hari ini ulang tahunku dan mesti buru-buru pulang ke rumah. Bisa aku duluan?” Permohonan itu ia ulang kepada sekurangnya dua puluh pembeli. Empat di antaranya menggerutu jengkel, walau akhirnya membiarkannya lewat. Lainnya, orang-orang tua, menyilakan dengan ramah. Malah sempat-sempatnya mengucapkan “Herzlichen Glückwünsch!”. Berhenti di pintu masuk asrama, Getha menghentikan langkah.
Tas kain belanjaan dia letakkan di lantai. Tangannya merogoh-rogoh jins belakang, mencari kunci. Tidak ada. Cemas. Lalu sadar kalau kunci itu tergantung di lehernya bersama Handy yang entah kenapa sampai malam ini tidak menampilkan panggilan atau sms dari Indonesia. Bukankah Indonesia memiliki waktu yang lebih cepat dari Jerman?
Delapan Juni hanya akan tinggal lima jam lagi berlalu. Seharusnya Arman kan sudah meneleponnya dari tadi? Kunci kamar yang merangkap kunci kotak suratnya dimasukkan Getha buru-buru. Ada tiga surat di sana. Dari pengirimnya Getha sudah bisa menebak isi surat-surat itu. Satu dari T-Mobile, tagihan telepon. Kedua dari AOK, asuransi menyebalkan ini, yang cukup menguras tabungannya. Ketiga dari Stadtbibliothek (perpustakaan daerah). Ampuuun! Pasti surat denda.
Baru ingat ada lima buku yang kira-kira tenggat waktunya sudah lebih dua minggu. Misst!! Dia sudah berubah jadi pikun sejak kepergian Arman. Tangga kayu berderak-derik saat Getha naik. Tiba di lorong lantai satu, Getha mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar Olin, yang letaknya pas di sisi tangga. “Oliiin!Oliiin!” Tidak ada jawaban. Anak itu biasanya memutar tape keras-keras sampai berkelahi dengan tetangga lain.
Tapi kamarnya sepi. Tidak ada suara. “Oliiiin!” Jendela kamar Olin tertutup. Pisau besar bergagang perak ada di pinggir jendela. Khasnya si Olin. Anak itu memang nyentrik. Tanda kalau dia ada di rumah ya itu, pisau itu. Kalau dia pergi pisau itu biasanya kembali ke rak di dapur.
Getha menarik nafas. Kalau hari ini si Olin dan Chika berencana mengerjainya, jelas-jelas itu tidak akan berhasil! Dia akan memasang tampang sewot seminggu penuh, sampai keduanya insaf tidak semua ultah berkesan dirayakan dengan keusilan. Tiba di lantai dua, Getha memutuskan masuk ke dapur lebih dulu. Sebab, kalau dia duluan masuk kamar, yang dikerjakannya duluan adalah menendang kets sampai lepas, membiarkannya teronggok di balik pintu. Membuka kaca lebar-lebar, menyilakan angin sejuk masuk. Lalu menyalakan laptop. Join ke Facebook.
Ke YM. Lebih parah lagi, masuk Skype untuk nelepon ke Indonesia. Dan rencananya untuk bikin yoghurt malam ini akan terlupakan begitu saja. Dapur kosong. Bagus. Tapi joroknya minta ampun. Tulang-tulang entah dari daging apa berserakan di bak cuci piring. Pasti ini orang si Balga Ulu, geram Getha. Di atas meja kulit bombay berserakan. Saos-saos berceceran menempel di kompor. Getha membuka lemari miliknya.
Mengambil peralatan yang dia butuhkan, mengunci lemari lalu pergi belok ke kanan lorong. Dia akan memakai dapur Chika saja. Kebanyakan penghuni di sepanjang lorong kamar Chika adalah orang-orang Rusia. Mereka biasanya cuma memanaskan sup di microwave. Olin cerita dapur di lorong Chika itu tidak butuh kerja ekstra untuk membersihkannya. Cuma dilap-lap saja. Beda dengan dapur di lorongnya.
Olin cerita dapur itu harus digosok-gosok, ditambahkan pembersih ekstra dan dia selalu mengomel tiap usai kerja membersihkan dapur itu. Dapur di lorong Chika kosong. Getha bekerja cepat. Melon dikupasnya, dipotong-potong kecil. Buah-buah kalengan lain tinggal dituang saja ke mangkuk. Yoghurt masuk. Sirup. Sedikit lagi gula. Dia pencinta rasa manis. Peduli amat kalau Chika dan Olin protes kemanisan. Kan malam ini miliknya? Dari dapur, Getha melihat tirai di kamar Chika tertutup.
Kontras dengan Olin, jendela kamar Chika dijejali roman-roman dari Verschenkmarkt Oldenburg. Tidak ada kutu buku yang lebih ganas membaca yang dikenal Getha selain Chika. Anak itu bisa kenyang dengan melahap halaman lewat halaman dan melupakan jam makan. Tissu- tissu berserakan di karpet kalau dia membaca roman sedih. Simpati yang berlebih.
Roman-roman yang misalkan tokohnya ditinggal kawin, ditinggal mati, atau ditinggal kabur. Tapi tirai itu tertutup. Getha melapisi mangkuk yang sekarang sudah penuh dengan plastik bening. Benar, tidak ada lalat di dapur Jerman. Tapi tangan-tangan jahil selalu ada di asrama mahasiswa.
“Chika….Chikaaaa”Getha menggedor-gedor pintu bernomor 40. Tidak ada jawaban. Hem, sekarang berkomplot orang ini berdua ya mengerjai, pikir Getha. Baiklah. Mangkuk dan peralatan dia bawa ke kamarnya. Yoghurt buah dia masukkan ke kulkas kecil. Kulkasnya cuma berisi telur, satu pakung roti tawar hitam yang tinggal separuh, dan pisang yang sudah menghitam kulitnya. Laptop masih menyala. Sengaja tadi ditinggalkannya begitu.
Sudut kiri layar memunculkan informasi kalau koneksi internet sedang terganggung. Typisch Wohnheim. Padahal di natal lalu mereka sudah protes atas kenaikan sewa kamar yang belum diikuti dengan fasilitas memadai, terpenting di antaranya ialah internet. Getha menarik napas dalam-dalam.
Apakah hari yang berkesan ini akan berlalu begitu saja? Ini ulang tahun kelima di negeri orang. Negeri yang katanya menjadi surga untuk mahasiswa. Negeri di mana engkau akan dihargai sepantas dengan seberapa encer otakmu. Bertahun-tahun lalu Getha mengguratkan mimpi-mimpinya.
Tiap malam dia memuja juga memuji sembari menatap malam yang dipenuhi bintang-bintang. Mimpi-mimpi itu menemani tiap kerja kerasnya. Enggan melewatkan waktu dengan merenung, Getha keluar dari kamar. Dia ogah mencari atau menelpon dua temannya itu. Biar saja mereka yang mendapatkan dia. Ruang klub di lorongnya terkunci. Suara ribut-ribut kedengaran dari dalam. Komplotan Balga Ulu. Getha berjalan lurus ke ruang klub lorongnya Chika. Tidak terkunci. Tapi begitu pintu terbuka, sekelompok mahasiswa berkulit putih, besar dan seram menonton televisi. Dia malas turun ke bawah, ke lorongnya Olin.
Lorongnya Olin penuh dengan mahasiswa bermata sipit, yang biasanya menghabiskan setiap malam bersama-sama, menyantap makanan yang telah dimasak bersama-sama sebelumnya. Bicara mereka ribut, ramai sekali. Dan biasanya si Olin pun malas masuk ke ruang klub itu sebab penghuni selorongnya cuma mau berbahasa Cina saja. Jadi Getha naik ke lantai tiga.
Terus naik lagi. Mereka punya balkon di atas tempat menjemur pakaian. Ada gazebo di situ, dia ingin menengok malam. Mungkin ada bintang-bintang yang akan jadi temannya melamun. Si Olin barangkali belum pulang dari Oldenburg. Shiftnya hari ini seharusnya sudah memungkinkan dia pulang.
Tapi si Olin suka disuruh-suruh sama bosnya untuk bertahan lebih lama. Chika mungkin belum pulang dari Hamburg. Kali saja tertahan di stasiun, atau kereta menuju Bremen terlambat datang. Gazebo kosong. Getha pergi ke pinggiran pagar besi. Senja telah menjauh. Burung-burung sudah berhenti berkicau.
Tapi lembayung masih memantul di langit. Sedang apa Arman sekarang di Indo, tanya Getha tak henti di pikirannya. Mungkin dia sudah menemukan yang lain. Mungkin dia tidak akan kuat dengan long distance sejauh ini. Getha tidak menyalahkan Arman atas keputusannya untuk balik ke Indonesia.
Dia satu-satunya putra yang dimiliki ayahnya. Ibunya sudah lama berpulang. Tapi dia kekurangan bahan bakar saja. Tidak ada lagi yang memompa semangat. Menyuntikkan motivasi. Menemani saat sepi. Aroma speck dan kopi menghambur wangi di udara malam yang lembut. Mengacaukan lamunan Getha. Siapa pula yang buat kopi malam-malam begini? Masih memandangi langit yang belum memunculkan bintang, Getha mengendus aroma lain yang kali ini tidak asing. Gulai ayam! Rasa lapar tiba-tiba menyergapnya.
Ah, mungkin aku terlalu jauh berangan, sampai mencium yang bukan-bukan, pikirnya. Gimana kalau melamun sedikit lagi saja, baru nanti menggoreng telur untuk disantap bersama nasi putih yang semoga saja belum basi. Dia lupa memindahkan dari rice cooker ke kulkas. Pelajaran-pelajaran yang semakin sukar dimengerti di kampus, membuat Getha berputar-putar di antara bimbang dan ragu. Saran host mothernya untuk menukar jurusan masih dipendingnya sampai semester depan. Ada aroma lain lewat di depan hidungnya. Jelas sekali. Aroma apa ini..Getha berbalik dan ingin turun ke dapur bawah mencari tahu siapa gerangan yang masak.
Cuma ada dia, Chika dan Olin dari Indonesia di asrama. Sudah ada Olin dan Chika di bawah gazebo. Keduanya sibuk mengatur makanan yang hampir tak muat di meja kayu bundar. Entah sejak kapan mereka tiba. “Dari mana kalian?”Getha menghambur ke bawah gazebo. „Dari tadi di sini. Minjam dapur orang atas“ Chika sibuk menuang wedang jahe ke gelas-gelas bergagang tinggi. „Gelas siapa ini?“ Getha tahu mereka tidak punya peralatan sebagus itu. „Minjam sama Pavanowsky. Kalau dia tidak mau minjamkan, aku akan berganti sama dia untuk bersihin dapur lorong kakak yang ajubilah kotornya itu“ Olin memindahkan perkedel dari penggorengan ke piring-piring ceper. „Kalian berdua yang masak ini?
Bukannya kalian kerja?“Getha tak mengerti. Makanan sebanyak ini mau dihabiskan bertiga? Tiga hari juga pasti masih lebih. „Engga. Kami bohong. Begitu kau pergi tadi pagi, kami langsung belanja, dan beres-beres. Mach doch Spaß kan Olin?“ Chika membentangkan karpet Persia yang entah dari siapa lagi dipinjam, mengalasinya dengan selembar selimut tipis, dan mengatur bantal-bantal yang kemungkinan besar dilarikan sementara dari Wohnzimmer.
„Kita mau ngapain?“Getha mulai membantu Olin yang mulai menyalakan laptop. Dia menjulurkan kabel sampai menyentuh stop kontak. „Diam saja di situ dan nikmati“ Chika mengeluarkan kue dari kotak. Menaruhnya ke pinggan besar, menancapkan entah berapa puluh lilin. „Hei, umurku belum sebanyak itu!“ protes Getha. „Hahaha…“ Chika dan Olin tertawa. Lepas. Getha mulai merasa nyaman mendengar tawa mereka. Sepertinya hari ini akan berakhir dengan indah. “Kalian menghabiskan berapa untuk ini semua?” Baik Chika dan Olin bergumam tak jelas. “Sibuk kali pun kakak ini. Diperhatikan, protes. Ga diperhatikan, ngambek.”
Olin sekarang menaburkan bawang goreng di atas masakan-masakan berkuah santan kental. “Alamak. Ada rendang?”Getha terpaku. Cekikikan kembali Chika dan Olin. “Jangan ge-er dulu. Ga sampai budget kami beli daging sapi. Itu cuma kentang rebus dibumbui rendang. Ide si Olin, katanya biar kau ga pala tarhirim. Seharusnya sih ayamnya yang direndang, tapi karena aku lebih suka gulai, dan sudah satu musim penuh ga makan gulai, kami gulai saja. Hehehe. Ambil yoghurtmu napa Geth. Biar pesta kita mulai.
» « Kok tahu aku bikin yoghurt ? « « Kami mengintipmu dari balik rak tadi di Aldi. Lilinnya kelupaan jadi tadi kami belanja lagi. Saking seriusnya kau tak lihat kami, kan?’ Getha buru-buru menuruni tangga. Ya ampun..yang dua itu.. Ketika Getha buru-buru lagi naik, tak sabar untuk menunggu pesta dimulai, segalanya sudah siap. Lilin-lilin di atas kue sudah menyala, juga ada lilin-lilin di atas meja. “Lilin sisa aromaterapi. Sorry Geth, baunya lavender, kamu udah ga alergi lagi kan?” “Engga. Ayo kita mulai. Sudah lapar kali aku” “Dasaaaar”berdua Chika dan Olin menimpali. Makan malam dibuka dengan doa. “ Seharusnya kakak yang berdoa”
Olin bersuara ketika mereka bertiga telah lipat tangan, tutup mata dan tunduk kepala tetapi belum ada yang memulai berdoa. Mereka itu memang berulah kalau makan bersama. Kecuali ada teman- teman lain yang datang berkunjung, biasanya mereka itu berdoa sendiri-sendiri meski makan bertiga. “Ga mau” keras kepalanya Getha kambuh. “Ya sudah kalau begitu aku saja”Chika ambil alih. ** Gelas-gelas berisi wedang jahe menggantikan posisi cangkir yang tadi diisi sari buah apel. Olin memilih kopi.
“Sudah mau meletus perutku dari tadi minum bandrek” alasannya. Piring-piring telah disingkirkan. Makanan yang kelihatannya tidak sanggup mereka habiskan sekali makan itu kini tandas. Tinggal tulang-tulang teronggok di sana.
“Kita sudah seperti komplotan Balga Ulu”Getha berkomentar. Mereka memang kerap bertengkar dengan mahasiswa-mahasiswa asal Kamerun yang tengah belajar teknik elektro di Uni Bremen itu karena seringkali tidak merapikan dapur setelah masak. Terlebih si Olin yang kerja paruh waktu di asrama di bagian kebersihan. Si Olin bahkan pernah menguber-uber satu teman si Balga Ulu karena memakai pancinya tanpa pamit. “Biar saja. Kan bukan tiap hari. Cuma tiga kali dalam setahun, saat kita tiga ultah kak”
Sementara itu Chika mengeluarkan persediaan kaset dari ranselnya. Olin merintih tak jelas membacai judul-judul itu. Bollywood. “Oh, tidak..semua persoalan hidup ini kan bisa dicari jalan keluarnya? Tapi tidak dengan joget!” Maka Getha dan Chika berkonsentrasi penuh menonton aktor idola mereka dalam My Name Is Khan. “Protes. Kenapa kita tidak potong kue tartnya dulu? Lepas itu kakak berdua bisa nonton sepuas hati. Aku bisa sambil tiduran mengisi TTS ini” “Betul juga. Biasanya orang potong kue dulu baru makan. Kita benar-benar kelaparan tadi, ya?” Chika menimpali. Bertiga mereka berdiri melingkari kue tart. Lilin-lilin telah menyala. “Tunggu dulu kak, kita nyanyi dong. Baru kak Getha ngucapin Wünschenya. Terus tiup lilin. Siap itu potong kue“ „Zum Geburtstag viel Glück. Zum Geburtstag viel Glück. Zum Geburtstag Alles Gute. Zum Geburtstag viel Glück. Horeeeee..tiup lilinnya, tiup lilinnya..“
Chika dan Olin hampir siap menyanyikan Happy Birthday versi bahasa Jerman. Getha masih menutup mata. Belum ada Wünsche yang dipersiapkan sejak tadi malam. Bukankah mimpi-mimpi telah dilepasnya satu persatu? Sekarang dia berjalan tanpa bintang-bintang yang dulu menemani sudut-sudut mimpinya. Tiup lilinnya..tiup lilinnya… Getha membuka mata. Biarkan saja. Dia akan berpura-pura saja sudah mengucapkan keinginan. Chika dan Olin kan tidak tahu menahu. Saat membuka mata itulah, Getha sempat menoleh langit. Lembayung sudah tenggelam. Gelap mulai memayungi.
Tapi kerlip di jauh sana, entah kenapa mengingatkan Getha kepada dua teman yang sekarang tengah bersorak-sorak di depannya. Kenapa sih mereka seheboh itu? Akhirnya Getha menarik nafas dalam-dalam. Si Chika ini, ngapain juga pakai acara bikin lilin banyak-banyak melewati umurnya sekarang? Jadi perlu nafas dalam, nih. Bisa ga yah semuanya padam dalam satu kali tiup? Tiup lilinnya..tiup lilinnya…ajakan itu lebih kencang. Belum ada lilin yang padam. Getha menghembus sekali lagi. Tiup lilinnya..tiup lilinnya. Sekali lagi. Dia tidak mau berhenti mencoba.
Pipinya gembung penuh udara. Sementara itu Chika dan Olin terpingkal-pingkal di atas bantal. Mudah-mudahan mereka tidak menaruh polusi di bantal itu kalau tidak mau dimarah Pavanowksy besok. Getha memandangi kue tart yang lilinnya masih menyala. ” Apa lilin-lilin ini mengejekku?”dia bertanya bingung. Chika dan Olin sudah selesai tertawa. Sekarang mereka memegangi perut yang masih bergoncang-goncang. Akhirnya Olin mengambil semua lilin itu. Mencelupkannya ke mangkuk berisi air.
Ternyata Chika menancapkan magic candle yang tak bisa padam. Getha setengah bersalto ke arah Chika. Memukul-mukul bantal ke sobatnya itu. Sementara Olin merekam momen indah ini. Di langit bintang-bintang mulai bermunculan.
Entah kenapa. Seharusnya rasi menampilkan gambar layang-layang di sana, sesuai musim.
Tapi malam ini bintang- bintang berbaris untuk Getha. Semuanya bersinar terang.
Kerlipnya memberi kecupan, menemani di sudut sebuah mimpi yang masih tersisa.
Dia telah melafalkan keinginannya tadi. Sambil mengerdip kepada bintan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar